JUBI --- Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) menduduki
peringkat pertama di Puskesmas Sarmi, Kabupaten Sarmi. Sejumlah 1400
kasus ditangani Puskesmas Sarmi pada Januari-Mei 2009. Diperkirakan, di
2010 jumlah ini terus meningkat selama perubahan iklim dan sistem
sanitasi lingkungan belum dibenahi.
Menurut Kepala Puskesmas Sarmi Luwunaung, ada siklus peningkatan pasien selama musim hujan. “Memasuki musim hujan biasanya pasien meningkat, sanitasi rumah yang buruk menambah jumlah penderita,” kata dia, Senin (8/2).
Ia melanjutkan, peralatan, dokter, dan perawat, cukup memadai untuk menangani ISPA. “Tapi jika sudah parah, kami tetap rujuk ke rumah sakit di Jayapura,” katanya.
Batseba Marow (29) seorang penderita ISPA mengaku sudah hampir 8 tahun tidak sembuh-sembuh. Acapkali ia ke Puskesmas saat sesak sudah tidak tertahan lagi. Di Puskesmas ia mendapatkan pengobatan seadanya. “Biasanya dokter periksa, kasih saya obat pereda sesak, itu saja sudah,” kata ibu 3 anak asal Bagaisewar yang siang itu diantar suaminya berobat.
Untuk pengobatan seadanya itu, Batseba tidak perlu mengeluarkan kocek banyak. Dengan biaya administrasi tak lebih dari Rp 5.000, ia bisa mengakses pelayanan di Puskesmas.
Sementara itu, malaria klinis menduduki tempat kedua dengan jumlah 1.000 kasus. Disusul malaria tropika 950 kasus. Jenis ini masih menjadi momok utama karena Sarmi berstatus endemi malaria. Jumlah penderita rawat inap pun di dominasi pasien malaria.
“Untuk penanganan malaria, soal peralatan kami memang agak kesulitan. Membengkaknya jumlah malaria klinis karena masyarakat sudah beramsumsi jika demam itu tanda malaria. Padahal belum diuji lab. Sedangkan untuk uji lab, kami tidak mampu,” ungkap Luwunaung. (C Harseno)
Menurut Kepala Puskesmas Sarmi Luwunaung, ada siklus peningkatan pasien selama musim hujan. “Memasuki musim hujan biasanya pasien meningkat, sanitasi rumah yang buruk menambah jumlah penderita,” kata dia, Senin (8/2).
Ia melanjutkan, peralatan, dokter, dan perawat, cukup memadai untuk menangani ISPA. “Tapi jika sudah parah, kami tetap rujuk ke rumah sakit di Jayapura,” katanya.
Batseba Marow (29) seorang penderita ISPA mengaku sudah hampir 8 tahun tidak sembuh-sembuh. Acapkali ia ke Puskesmas saat sesak sudah tidak tertahan lagi. Di Puskesmas ia mendapatkan pengobatan seadanya. “Biasanya dokter periksa, kasih saya obat pereda sesak, itu saja sudah,” kata ibu 3 anak asal Bagaisewar yang siang itu diantar suaminya berobat.
Untuk pengobatan seadanya itu, Batseba tidak perlu mengeluarkan kocek banyak. Dengan biaya administrasi tak lebih dari Rp 5.000, ia bisa mengakses pelayanan di Puskesmas.
Sementara itu, malaria klinis menduduki tempat kedua dengan jumlah 1.000 kasus. Disusul malaria tropika 950 kasus. Jenis ini masih menjadi momok utama karena Sarmi berstatus endemi malaria. Jumlah penderita rawat inap pun di dominasi pasien malaria.
“Untuk penanganan malaria, soal peralatan kami memang agak kesulitan. Membengkaknya jumlah malaria klinis karena masyarakat sudah beramsumsi jika demam itu tanda malaria. Padahal belum diuji lab. Sedangkan untuk uji lab, kami tidak mampu,” ungkap Luwunaung. (C Harseno)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar